MENURUT BANYAK orang Kristen, kalau Allah diakui atau dipercayai sebagai “suatu realitas”, maka harus ada pembuktian yang menunjukkan keberadaan-Nya. Inilah yang membuat orang-orang ateis tidak bisa menerima keberadaan Allah, sebab Allah dianggap tidak memiliki bukti yang kuat untuk menunjukkan keberadaan-Nya. Bahkan kemudian timbul asumsi bahwa Allah sudah mati. Fenomena ini tidak perlu membuat orang percaya gusar, sebab dalam 2Petrus 3:1-13, telah dinubuatkan bahwa pada suatu saat akan muncul pengejek-pengejek atau pencemooh (Yun. empaiktes; ἐμπαίκτης, a mocher, a scoffer) yang melecehkan keberadaan Allah. Jadi kalau fenomena ini muncul, berarti kedatangan Tuhan sudah semakin dekat.
Aspek lain mengapa keberadaan Allah selalu dipersoalkan adalah karena pada umumnya dalam diri manusia terdapat kehausan untuk mencari tahu sesuatu yang ada di luar dirinya. Selain itu, juga selalu ada kehausan dalam diri manusia terhadap Allah. Oleh karena manusia mengisi cita rasa jiwa dan spiritualnya dengan perkara-perkara dunia (materi) maka kehausan tersebut telah tergantikan, sehingga banyak orang tidak mencari Allah lagi. Sebagai akibatnya, manusia mencari kepuasan jiwa yang semu. Dari hal inilah Iblis menggiring manusia ke dalam kegelapan abadi. Menjadi persoalan kita: Apakah ada bukti-bukti yang bisa menjadi dasar untuk menunjukkan bahwa Allah itu ada?
Melalui pergumulan yang panjang dalam sejarah gereja, para teolog mengupayakan bukti-bukti untuk menunjukkan bahwa Allah itu ada. Berikut ini bukti yang biasanya dikemukakan untuk meneguhkan bahwa Allah itu ada. Bukti-bukti tersebut disebut sebagai argumentasi-argumentasi atau bukti-bukti teistik. Teistik artinya berkenaan atau bersifat Allah. Walaupun argumentasi-argumentasi di bawah ini tidaklah bisa menjadi landasan yang kokoh dalam membangun iman yang murni, tetapi bagaimanapun juga argumentasi-argumentasi ini sekecil apa pun perannya- paling tidak memberi bukti bahwa Allah itu ada. Bagi yang sudah beriman, argumentasi-argumentasi ini memberi topangan untuk meyakini atau meneguhkan keyakinannya terhadap keberadaan Allah, sehingga tidak meragukan sama sekali bukti-bukti teistik tersebut. Mereka mengakui bahwa semua bukti tersebut sebagai karya agung tangan yang tidak kelihatan. Namun, kalau hati orang sudah tidak mengakui keberadaan Allah, maka mereka tidak akan pernah percaya, sampai suatu hari nanti mereka baru membuktikan realitas Allah.
Sejujurnya, sulitlah menolak kenyataan adanya relasi antara Allah dan manusia serta kosmos (alam semesta) ini. Berdasarkan relasi yang bisa tersambung, maka dibangunlah argumentasi-argumentasi atau bukti teistik ini. Argumentasi-argumentasi tersebut antara lain:
Argumentasi anthropologis, argumentasi ini berpijak pada anggapan bahwa tidak mungkin manusia dengan metabolisme yang rumit dan sempurna ini eksis karena suatu kebetulan, pasti ada tangan yang menciptakannya.
Argumentasi moral, argumentasi ini berpijak pada anggapan suatu fakta bahwa di mana pun di belahan dunia ini terdapat hukum moral atau etika yang mirip atau sama.
Argumentasi kosmologis, argumentasi ini berpijak pada anggapan bahwa jagad raya yang ada -dengan keteraturannya yang sempurna ini- pasti ada yang menciptakan.
Argumentasi teleologi, argumentasi ini berpijak pada anggapan bahwa keteraturan tatanan pasti dikarenakan adanya tangan yang menciptakan dan yang secara berkesinambungan mengatur mekanisme serta keteraturannya. Siklus alam, siklus kehidupan berbagai makhluk dengan habitatnya masing-masing dan segala keharmonisan kehidupan dengan segala hukum-hukumnya yang teratur, menunjukkan adanya tangan yang tidak kelihatan yang mengaturnya dengan sangat cerdas dan teliti.
Argumentasi ontologis, argumentasi ini berpijak pada anggapan bahwa manusia memiliki kesadaran akan adanya keberadaan yang sempurna, yaitu Allah atau Pribadi yang Mahakuasa yang patut diakui sebagai pencipta. Kesadaran atau naluri ini secara permanen ada dalam manusia. Kesadaran seperti ini ada pada manusia di mana pun mereka berada. Dari suku-suku primitif sampai manusia modern memiliki “naluri” adanya “Pribadi” yang agung yang menciptakan alam semesta dan yang harus disembah atau menjadi obyek pemujaan.
Bukti-bukti di atas ini sia-sia tanpa pengalaman konkret seseorang dengan Tuhan. Oleh sebab itu walaupun seseorang belajar theologia, tetapi jika ia tidak mengalami Tuhan secara riil, maka apa yang diajarkan tidak menggigit dan mengubah manusia. Mazmur 42:2-5

Posted in:
0 komentar:
Posting Komentar
Bagi Anda yang ingin memberikan tanggapan/komentar berilah sesuai redaksi diatas.